Selamat Datang....

Punya masalah finansial, sistem akuntansi, atau masalah perhitungan dan pembayaran pajak perusahaan maupun perorangan? Bergabunglah bersama kami, kami senantiasa membantu dan memberi solusi bagi permasalahan anda.

Rabu, 27 Juli 2022

NIK Jadi NPWP Permudah WP Lapor dan Bayar Pajak



Sudah sejak lama pemerintah berencana menggabungkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Artinya, kepemilikan KTP ini sama dengan identitas NPWP atau NIK KTP jadi NPWP.

Ilustrasi penggabungan NIK dan NPWP

Secara bertahap, kebijakan tentang NIK KTP jadi NPWP ini diimplentasikan dengan ketentuan perundang-ungangan perpajakan sebagai landan hukumnya.

Seperti diketahui, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), menggabungkan NIK KTP jadi NPWP adalah salah satu ketentuan yang diatur dalam beleid tersebut.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 sebagai peraturan pelaksana UU HPP, pemerintah resmi menetapkan format NPWP terbaru, baik bagi wajib pajak pribadi, wajib pajak badan, maupun wajib pajak pribadi bukan penduduk dan wajib pajak instansi pemerintah.

Tentunya ada banyak alasan dari penggabungan NIK KTP NPWP ini. Salah satunya untuk mendapatkan data akurat Wajib Pajak (WP), baik WP Pribadi maupun WP badan.

Sehingga ide menggabungkan NIK KTP dengan NPWP dinilai sebagai langkah efektif untuk menertibkan administrasi perpajakan pada seluruh lapisan masyarakat wajib pajak.

Harapannya, tak ada lagi alasan bagi masyarakat menghindari pajak atau tidak bayar pajak karena enggan mengurus administrasi NPWP atau hal lainnya.

Tak dimungkiri, saat ini pun nyatanya masih saja ada Wajib Pajak (WP) yang belum memiliki NPWP.

Ada saja alasannya. Bisa jadi karena malas atau enggan mengurus administrasi NPWP, hingga menganggap belum penting untuk memiliki NPWP.

Apapun alasannya, kesadaran membayar pajak memang harus dipupuk sedari mungkin, toh uang pajak yang kita bayarkan pada akhirnya juga akan kembali pada kita semua sebagai masyarakat Indonesia dalam bentuk lain seperti:

  • Pembangunan fasilitas umum mulai dari jalan, rumah sakit, pengelolaan lingkungan, sarana dan prasarana pendidikan, dan masih banyak lagi.
  • Ketahanan pangan di dalam negeri dan lainnya
  • Bahkan hasil dari uang pajak juga diberikan berupa uang tunai bagi masyarakat kurang mampu yang berhak menerima.
Materi diambil dari :Mekari Klik Pajak

Kamis, 19 Maret 2020

Belum Sempat Lapor SPT Tahunan? Deadline Penyampaian SPT Tahunan OP & Badan Diundur...

Virus corona semakin merebak di Indonesia sehingga mengubah banyak jadwal kegiatan. Termasuk tenggat waktu pelaporan SPT pajak penghasilan (PPh).

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memberikan jangka waktu lebih panjang untuk penyampaian dan pelaporan SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi hingga 30 April 2020.

Setiap tahunnya, pelaporan SPT sendiri dilakukan paling lambat bulan Maret. Namun, dengan adanya wabah virus corona Ditjen Pajak memberikan relaksasi batas waktu pelaporan dan pembayaran hingga April.

"Untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menyampaikan SPT Tahunan tahun pajak 2019, maka Ditjen Pajak juga memberikan relaksasi batas waktu pelaporan dan pembayaran sampai dengan 30 April 2020 tanpa dikenai sanksi keterlambatan," tulis keterangan resmi Ditjen Pajak.

Informasi ini juga dibenarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, @smindrawati. Dia mengatakan di tengah mewabahnya corona dirinya melakukan koordinasi kebijakan dengan bawahannya lewat video conference.


Beberapa keputusan pun dapat diambil meskipun dirinya tidak melakukan koordinasi secara langsung. Salah satunya menyetujui usulan Ditjen Pajak untuk merelaksasi batas pelaporan SPT 2019.

"Menyetujui usulan Dirjen Pajak, untuk menetapkan status kahar dan memperpanjang waktu penyerahan SPT Wajib Pajak Pribadi dari akhir Maret menjadi April 2020," tulis Sri Mulyani dalam keterangan unggahannya.

Kemudian Ditjen Pajak juga menutup pelayanan perpajakan yang dilakukan langsung, baik lewat Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) maupun Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona.

Penutupan layanan langsung ini dilakukan mulai 16 Maret hingga 5 April 2020 mendatang. Wajib Pajak tetap dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan maupun masa melalui sarana pelaporan elektronik atau online.

Sumber berita: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4946073/catat-ya-batas-waktu-lapor-spt-mundur-ke-30-april?tag_from=wp_beritautama&_ga=2.36537504.1620691541.1584454384-1234922830.1500610314

Kamis, 12 Maret 2020

Proteksi Daya Beli Masyarakat, Pemerintah Tanggung PPh Atas Gaji

Pemerintah akan melaporkan rancangan insentif alias stimulus jilid II kepada Presiden Joko Widodo hari ini. Dalam stimulus jilid II ini pemerintah memutuskan untuk menanggung pajak penghasilan (PPh) pasal 21, menangguhkan PPh pasal 25 dan Pasal 22, serta mempercepat restitusi.
Rancangan tersebut sudah diputuskan pada rapat koordinasi (rakor) tingkat menteri di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam rapat tersebut belum memutuskan sektor mana saja yang akan merasakan insentif tersebut.
Sambil menanti keputusan dari Presiden Jokowi, detikcom mencoba membuat simulasi hitungan besaran gaji yang didapat seorang karyawan sebelum dan sesudah dipotong pajak.
Perlu diketahui, tujuan pemerintah menanggung pajak PPh Pasal 21 untuk mempertahankan daya beli masyarakat di tengah serangan virus corona (covid-19) yang membuat beberapa produksi industri menurun.
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi sebagai subyek pajak dalam negeri.

Tarif PPh Pasal 21 untuk seorang yang memiliki gaji tahunan sampai Rp 50 juta berdasarkan Pasal 17 UU PPh dikenakan sebesar 5%. Untuk penghasilan Rp 50 juta-Rp 250 juta, PPh dikenakan sebesar 15%. Lalu penghasilan Rp 250 juta-Rp 500 juta, tarif pajaknya 25%. Sementara penghasilan di atas Rp 500 juta dikenakan tarif pajak 30%.
Untuk karyawan dengan gaji Rp 6.000.000 per bulan maka terkena tarif 5%. Sehingga yang didapat setelah dipotong pajak sebesar Rp 5.925.000. Angka tersebut juga sudah termasuk pengurangan dari nilai batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
PTKP adalah besarnya penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha dan/atau pekerjaan bebas jumlahnya di bawah PTKP tidak akan dikenakan PPh. Besaran PTKP di Indonesia sebesar Rp 54.000.000 per tahun atau Rp 4.500.000 per bulan.
Hitungannya, Rp 6.000.000 dikali 12 (1 tahun) = Rp 72.000.000, lalu dari Rp 72.000.000 dikurangi Rp 54.000.000 (PTKP) = Rp 18.000.000. Dari Rp 18.000.000 x 5%= Rp 900.000. Angka Rp 900.000 ini merupakan pajak penghasilan dalam satu tahun, sehingga Rp 900.000 dibagi 12 = Rp 75.000. Dengan begitu, Rp 6.000.000 - Rp 75.000= Rp 5.925.000.
Simulasi hitungan ini juga berlaku sama bagi karyawan yang bergaji Rp 50 juta hingga 500 juta per bulannya atau lebih tinggal menyesuaikan tarif PPh sesuai ketentuan.
Jika pajak PPh ditanggung pemerintah maka untuk karyawan yang memiliki gaji Rp 6.000.000 per bulan akan mendapatkan penuh. Perlu dicatat, angka Rp 6.000.000 ini belum termasuk potongan-potongan yang diterapkan oleh masing-masing perusahaan, seperti asuransi, koperasi, dan lain sebagainya.

Kamis, 04 Oktober 2018

Perlemahan Rupiah Tembus 15.145, Kondisi Pasar Sahampun Kian Lesu

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pagi ini dibuka di zona merah. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pagi ini sudah tembus ke posisi 15.145

Pada perdagangan pre opening, IHSG turun 20,13 poin atau 0,3% ke 5.847,99. Indeks LQ45 juga turun 0,04% ke 942,901. 

Membuka perdagangan, Kamis (4/10/2018), IHSG turun kian dalam 61,3 poin (1,04%) ke 5.806,36. Indeks LQ45 turun 1,4 poin (0,15%) ke 942,526.

Pada perdagangan pukul 09.05 waktu JATS, IHSG masih bertahan di zona negatif, turun 69 poin (1,18%) ke 5.798,40.

Sementara itu, Bursa Amerika Serikat ditutup menguat. Dow Jones ditutup 26,828.39 (+0.20%), NASDAQ ditutup 8,025.09 (+0.32%), S&P 500 ditutup 2,925.21 (+0.06%). 

Bursa saham US ditutup menguat setelah data ekonomi riterbitkan. Data ekonomi ADP non-farm payroll menunjukan bahwa jumlah pekerjaan baru meningkat sebanyak 230.000 lebih tinggi dari prediksi di level 185.000, sedangkan data PMI manufaktur menunjukan 61.0 slebih tinggi daripada prediksi di level 58.0 yang cukup tinggi, menunjukan pertumbuhan manufaktur di dalam US cukup peast. 

Jerome Powell memberikan komentar bahwa data ekonomi US cukup kuat sehingga peningkatan suku bunga The Fed akan masih berlanjut namun akan dilakukan secara gradual. Hal ini memberikan sentimen yang positif bagi bursa US dan juga nilai tukar USD terhadap mata uang lainya secara keseluruhan. Secara bersamaan, hal ini dapat memberikan sentimen yang kurang baik bagi pada investor di emerging market termasuk Indonesia.

Bursa saham Asia juga mayoritas bergerak negatif pagi ini. Berikut pergerakannya:
Indeks Nikkei 225 turun 0,32% ke 24.032
Indeks Hang Seng turun 1,75% ke 26.126
Indeks Komposit Shanghai libur
Indeks Strait Times naik 0,94% ke 3.226


Dikutip dati : https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-4241468/rupiah-kian-lemah-ihsg-merosot-ke-5798

Kamis, 27 September 2018

Rupiah Terpuruk, Inilah Sejumlah Langkah BI Menyelamatkan Kurs Rupiah

Bank Indonesia (BI) menyebutkan telah memiliki langkah jangka pendek untuk mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan langkah jangka pendek itu juga sudah dilakukan.

"Karena dalam jangka pendek, stabilisasi perlu dilakukan," kata Perry di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (5/9/2018).

Nilai tukar dolar AS diketahui tak berhenti menunjukkan penguatannya terhadap rupiah. Dolar AS bahkan sempat menyentuh level Rp 14.999.



Langkah jangka pendek BI dalam menstabilkan nilai rupiah, kata Perry, yang pertama adalah mempererat koordinasi dengan pemerintah dan OJK. Koordinasi yang dimaksud adalah dalam menerbitkan dan menjalankan suatu kebijakan.

Kedua, melakukan penyesuaian suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate. Tujuannya, agar surat berharga negara (SBN) tetap menarik bagi investor, sehingga ada arus modal masuk ke Indonesia.

"Bagaimana suku bunga kita masih menarik investasi masuk portofolio apalagi pemodal asing ini milih-milih dari imbal hasil," jelas dia.

Ketiga, bersama dengan pemerintah dan stakeholder menurunkan defisit transaksi berjalan. Tercatat, defisit sepanjang kuartal II mencapai US$ 8 miliar atau lebih tinggi dari periode kuartal I yang mencapai US$ 5,7 miliar.

Langkah keempat, kata Perry, otoritas moneter akan selalu berada di pasar untuk melakukan intervensi, baik di pasar valas maupun pasar SBN. Untuk intervensi, setidaknya BI sudah menggelontorkan dana sekitar US$ 11,9 miliar.

Sedangkan yang terakhir, Bank Indonesia menyediakan fasilitas swap dengan tarif barter valas yang lebih murah.

Sumber : https://finance.detik.com/moneter/d-4199200/ini-cara-teranyar-bi-obati-rupiah-dari-amukan-dolar-as

Senin, 12 Maret 2018

PERATURAN BARU CARA LAIN MENGHITUNG PEREDARAN BRUTO TELAH TERBIT!!!

Karena adanya sekelompok wajib pajak yang tidak melaporkan peredaran bruto usaha mereka secara benar, maka Menteri Keuangan menetapkan cara lain untuk mengitung peredaran bruto usaha yang dituangkan dalam PMK No. 15/PMK.03/2018 yaitu dengan menghitung:

  1. Transaksi tunai/non tunai.
  2. Sumber dan penggunaan dana.
  3. Satuan dan atau volume (penjualan/pembelian).
  4. Perhitungan biaya hidup.
  5. Pertambahan kekayaan bersih.
  6. Surat Pemberitahuan/pemeriksaan pajak tahun sebelumnya.
  7. Proyeksi nilai ekonomi.
  8. Penghitungan rasio.

Berikut isi dari  PMK No. 15/PMK.03/2018.



Senin, 05 Februari 2018

Dilema Penerapan Fair Value Pada PSAK 13 Properti Investasi

Mitos IFRS yang sering dipercayai adalah IFRS sangat condong menggunakan nilai wajar dalam standar-standarnya. Mitos ini berusaha dibantah oleh Ketua IASB misalnya ketika dia memberikan sambutan dalam acara pembukaan kantor perwakilan IASB untuk Asia Oceania di Tokyo beberapa waktu lalu.Khusus untuk Indonesia yang sebelum 2008 sangat setia menggunakan konsep nilai historis, mau tak mau mulai mengadopsi nilai wajar dalam standar akuntansinya. PSAK 16 Aset Tetap misalnya, berlaku efektif 1 Januari 2008 memperkenalkan konsep model revaluasi yang menggunakan nilai wajar. Begitu pula dengan PSAK 13 Properti Investasi dengan tanggal efektif sama dengan PSAK 16, yang menawarkan model nilai wajar sebagai pilihan.
Banyaknya penggunaan nilai wajar dalam IFRS membuat beberapa nilai wajar dalam standar-standar IFRS tidak konsisten satu sama lain. Seperti misalnya definisi nilai wajar untuk PSAK 13 dan PSAK 16 memiliki perbedaan. Nilai wajar dalam PSAK 13 ditentukan dengan exit price (harga keluaran), didasarkan pada partisipasi pasar dan ditentukan pada tanggal pengukuran. Sedangkan PSAK 16 pengukuran nilai wajar menggunakan entrance price, nilai masukan, didasarkan atas dasar transaksi yang wajar dan tanggal pengkuran tidak ditentukan. Pembahasan nilai wajar dalam IAS 41 Agriculture (belum diadopsi di Indonesia) juga hanya mengatur apa yang harus diukur dengan nilai wajar (aset bilogis) dan kapan mengukurnya. IAS 41 tidak menjelaskan bagaiamana metode pengukuran nilai wajar diterapkan.
Melihat definisi nilai wajar yang kurang jelas dan tidak konsisten, pada bulan May 2011 IASB mengeluarkan IFRS 13 Fair Value Measurement dan mulai berlaku efektif 1 Januari 2013. Bila anda berprofesi sebagai penilai, maka membaca IFRS 13 tidak akan terasa asing karena sangat harmonis dengan ketentuan nilai pasar yang tertuang dalam IVS (International Valuation Standards), kitab pegangan profesi penilai. IVS adalah produk yang dikeluarkan oleh IVSC (International Valuation Standard Council) yang diketuai saat ini oleh Sir David Tweedie, mantan ketua IASB selama sepuluh tahun.


IFRS 13 Fair Value Measurement: Ruang Lingkup dan Definisi
IFRS 13 mengatur prinsip-prinsip pengukuran nilai wajar yang telah termuat dalam standar-standar IFRS sebelumnya. IFRS 13 memberikan definisi baru tentang nilai wajar yang sebelumnya diatur berbeda-beda dalam beberapa IFRS. Selain definisi, IFRS 13 juga memberikan cara bagaimana nilai wajar tersebut diukur dan bagaimana pengungkapannya. Hal ini menjadi penting karena dalam beberapa IFRS terdapat petunjuk atau contoh-contoh penghitungan nilai wajar yang akhirnya tidak konsisten satu sama lain.
Definisi Nilai Wajar dalam IFRS Sebelumnya
“Fair value is the amount for which an asset could be exchanged between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction”
Definisi Nilai Wajar Yang Baru
IAS 13 Investment property and IAS 16 Property Plant and Equipment “This IFRS defines fair value as the price that would be received to sell an asset or paid to transfer a liability in an orderly transaction between market participants at the measurement date. “  IFRS 13 Paragraph 9.
Definisi nilai wajar dalam IFRS 13 lebih jelas daripada definisi sebelumnya. Misalnya kata “could be exchanged” tidak jelas apakah harga jual atau harga beli? Hal itu diperjelas dalam definisi IFRS 13 yang menggunakan harga yang didapatkan bila kita menjual aset. Definisi sebelumnya juga tidak jelas harga kapan yang digunakan yang diperjelas kemudian dalam IFRS 13 sebagai harga pada saat pengukuran.
Dengan definisi yang baru maka yang dimaksud dengan nilai wajar dari aset atau liabilitas yang diukur adalah harga yang digunakan di pasar (market-based measurement) dan bukan harga yang bergantung pada faktor-faktor internal perusahaan (entity-specific measurement). Namun harus dicermati kata orderly transaction (transaksi dalam keadaan wajar teratur) terkadang menuai diskusi hangat di kalangan akuntan karena untuk menentukan apakah transaksi tersebut “orderly” bukanlah perkara mudah.
Dalam mengukur nilai wajar, perusahaan harus berusaha mencari harga pasar utama dari aset dan liabilitas yang dimaksud. Bila pasar utama tidak ada, maka perusahaan harus mencari harga dari pasar yang paling menguntungkan (most advantageous market) untuk aset atau liabilitas tersebut. Kata most advantageous market juga dapat menuai kontroversi karena sulit untuk menentukannya.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah, nilai transaksi tidak selalu berarti sama dengan nilai wajar. Walaupun dalam banyak hal, nilai transaksi biasanya adalah nilai wajar, namun bisa saja nilai transaksi tidak mencerminkan nilai wajar. Bila ada suatu standar IFRS yang mensyaratkan suatu aset/liabilitas diakui pertama kali sesuai dengan nilai wajarnya, maka perusahaan mengukur nilai wajar sesuai dengan ketentuan IFRS 13. Jika ada perbedaan antara harga transaksi dengan nilai wajarnya, maka selisihnya diakui dalam laporan laba rugi, kecuali diatur berbeda dalam standar lain.
Hirarki Nilai Wajar
Pentingnya harga pasar membuat banyak akuntan di negara berkembang cemas. Merupakan tantangan yang besar bagi negara berkembang untuk menentukan nilai pasar karena volatilitas pasar di negara berkembang lebih tinggi daripada negara-negara maju. IFRS 13 tidak serta merta secara kejam memaksakan yang dimaksud nilai wajar haruslah nilai pasar. Oleh sebab itu sangat penting untuk memahami hirarki nilai wajar dalam IFRS 13
Berdasarkan hirarki di atas maka nilai wajar untuk aset non keuangan seperti gedung dan peralatan biasanya menggunakan level 2 dan level 3. Perusahaan sedapat mungkin harus menggunakan level 1 untuk mencari nilai wajar aset dan liabilitas. Namun level 2 dan level 3 digunakan bila memang tidak ada nilai pasar terhadap aset dan liabilitas yang akan diukur, tentunya level 2 diutamakan sebelum perusahaan akhirnya harus menggunakan level 3. Unobservable input termasuk juga informasi internal perusahaan (anggaran dan prakiraan/forecast) yang senantiasa disesuaikan bila asumsi perusahaan berubah.
High and Best Use Model
Secara khusus, IFRS 13 memberikan persyaratan untuk aset-aset non-keuangan (semisal gedung) yakni pemanfaatan terbaik dan tertinggi dari aset tersebut.
“A fair value measurement of a non-financial asset takes into account a market participant’s ability to generate economic benefits by using the asset in its highest and best use or by selling it to another market participant that would use the asset in its highest and best use.” IFRS 13 Paragraph 27.
Sebutlah misalnya perusahaan XYZ memiliki sebuah gedung di sebuah jalan protokol ibu kota yang sangat bergengsi. Perusahaan ingin mengukur property investasi ini menggunakan nilai wajar. Saat ini gedung tersebut hanya digunakan sebagai gudang. Bila menggunakan definisi nilai wajar sebelumnya, perusahaan XYZ bisa menggunakan harga penawaran calon pembeli terhadap gedung tersebut. Bisa jadi harga yang ditawarkan pembeli lebih murah dari harga wajar gedung-gedung disekitarnya karena pembelinya juga akan memanfaatkan gedung tersebut sebagai gudang.
Namun bila menggunakan definisi nilai wajar yang baru perusahaan harus mengukur harga dari pasar yang paling menguntungkan. Seharusnya gedung tersebut bila dimanfaatkan sebagai perkantoran (dan bukan sebagai gudang) karena berada di daerah bisnis bergengsi, perusahaan bisa mendapatkan nilai wajar yang lebih tinggi. Maka menilai gedung tersebut sebagai gudang tidak bisa diterapkan karena tidak memenuhi definisi “Highest and Best Use”.
Bila perusahaan bertujuan menggunakan aset non-keuangan tidak dalam kapasitas maksimum atau pemanfaatan terbaik, maka pengukuran nilai wajar aset tersebut harus menggunakan harga pasar dimana pelaku pasar menggunakan aset tersebut dengan pemanfaatan dan kapasitas terbaik. Bila aset memiliki nilai wajar yang lebih baik bila digunakan bersama-sama aset lain (misalnya sebuah mesin yang nilainya lebih baik bila dijual sebagai sekelompok mesin pabrik lengkap), maka nilai tersebut yang digunakan daripada nilai aset yang terjual sendirian.
Konsep High and Best Use ini tidak digunakan dalam pengukuran nilai wajar aset dan liabilitas keuangan.
Pengungkapan
Secara umum perusahaan harus mengungkapkan nilai wajar di akhir periode serta teknik penilaian dan nilai masukan (input value) yang digunakan dalam teknik penilaian tersebut. Level penilaian berapa yang digunakan oleh perusahaan juga harus diungkapkan. Apabila ada transfer aset dan liabilitas antara satu level dengan level lainnya, hal tersebut juga harus diungkapkan. Transfer aset atau liabilitas masuk ke level tertentu harus dipisahkan dengan transfer keluar dari level tersebut.
Pengukuran nilai wajar menggunakan level 3 membutuhkan banyak pertimbangan profesional (professional judgement) sehingga menjadi perhatian IASB dalam pengaturan pengungkapan dalam IFRS 13. Pada prinsipnya, bila perusahaan memutuskan menggunakan level 3 maka pengguna laporan keuangan harus dapat mengetahui dampak dari level 3 tersebut terhadap laba/rugi perusahaan atau terhadapt pendapatan komprehensif lain.
Bila perusahaan menggunakan teknik penilaian nilai wajar level 3, nilai input dan asumsi-asumsi yang digunakan harus diungkapkan secara rinci. Perusahaan juga harus menjelaskan langkah-langkah proses penilaian yang dilakukan dengan nilai input tersebut. Analisis sensitivitas juga harus dibuat oleh perusahaan dalam pengungkapan. Diskusi narasi tentang analisis sensitivitas tentang perubahan nilai masukan tak terobservasi (Unobservable inputs) termasuk hubungan antar nilai-nilai masukan tersebut yang dapat mempengaruhi pengukuran.
IFRS 13 Fair Value Measurement adalah salah satu standar akuntansi yang cukup rumit dan membutuhkan ilmu-ilmu penilaian yang mungkin tidak dipelajari oleh para akuntan yang mengenyam ilmu pendidikan akuntansi tradisional. DSAK-IAI belum mengambil keputusan kapan IFRS 13 ini akan diadopsi, kemungkinan besar setelah 2013. Namun demikian mengingat standar akuntansi ini pasti akan diadopsi di Indonesia dan cukup signifikan membawa perubahan, tidak ada salahnya para akuntan bersiap diri mempelajari standar ini bahkan sebelum diadopsi oleh DSAK-IAI.

Sumber Referensi Artikel : http://etw-accountant.com/sukar-menakar-nilai-wajar-tinjauan-atas-ifrs-13-fair-value-measurement/