Selamat Datang....

Punya masalah finansial, sistem akuntansi, atau masalah perhitungan dan pembayaran pajak perusahaan maupun perorangan? Bergabunglah bersama kami, kami senantiasa membantu dan memberi solusi bagi permasalahan anda.

Senin, 17 Juli 2017

Pelajaran Bisnis dari Kisah Kejatuhan Sevel dan Kaskus

Gerai Sevel di bilangan Blok M itu telah tutup. Bekas bangunan tokonya tampak jadi kumuh dan tenggelam dalam kesunyian yang pedih.

Modern Group sebagai induk 7-Eleven Indonesia mengakui kerugian yang signifikan, hingga 400-an milyar.

Gerai Sevel yang dulu marak dimana-mana itu satu demi satu tumbang dalam kebangkrutan dan duka yang teramat masif.

What went wrong?

Saya sendiri dulu termasuk pelanggan Sevel. Jika ada janjian konsultasi dengan klien, saya selalu berangkat dari rumah saya di Bekasi jam 5 pagi (pagi amat yak).

Saya kemudian selalu milih rehat sarapan pagi di Sevel yang lokasinya terdekat dengan kantor klien; dengan menu breakfast yang lumayan premium (mahal maksudnya).

Saya mungkin dulu tipe pelanggan ideal yang diimpikan Sevel. Namun kemungkinan tak banyak pembeli yang seperti saya. Yang lebih banyak adalah anak-anak muda yang beli minuman alakadarnya (murah maksudnya) dan lalu nongkrong berjam-jam di kafe Sevel.



Akibatnya cukup fatal : pemasukan sedikit, sementara investasi tempat dan bahan untuk menyiapkan makanan premium telanjur amat mahal. Cost besar, pemasukan sedikit. Ujungnya kolaps.

Sevel mungkin contoh penerapan strategi produk yang stuck on the middle. Ndak jelas. Mau menghadirkan layanan premium seperti Starbucks, tidak bisa. Mau gunakan prinsip supermarket efisien seperti Indomaret, namun sudah telanjur terkesan premium produknya – karena harus menyewa lahan di lokasi strategis yang amat mahal.

Harap diketahui, menyiapkan menu makanan seperti yang disediakan Sevel (spaghetti, nasi goreng instan, salad) itu mahal ongkosnya. Dan yang pahit : jika tidak laku harus dibuang. Jadi waste-nya amat sangat mahal.

Celakanya, menu varian makanan premium yang bahan bakunya mahal dan harus dibuang jika tidak laku itu; tidak banyak yang beli. Kebanyakan pembeli Sevel ya itu tadi : anak-anak muda yang cuma beli makanan murah lalu nongkrong berjam-jam di lokasinya.

Kisah kejatuhan Sevel memberi pelajaran : inovasi itu penting, namun jika inovasinya salah sasaran, bisa memberikan bumerang yang high-cost.

Pilihan strategi produk yang tidak pas ternyata bisa membuat sebuah bisnis terjungkal dengan penuh luka.

Yang muram : rencana akuisisi Sevel oleh grup Charoen Pokphand juga batal karena ketidaksepakatan bisnis. Kabarnya, pihak pemilik Sevel pusat di luar negeri tidak setuju dengan rencana bisnis yang diajukan Pokphand.

So what’s next?

Solusinya mungkin Sevel harus back to basic (fokus jualan fast moving consumer goods, tanpa harus ribet jualan aneka minuman, kopi dan makanan layaknya kafe). Lalu hanya fokus jualan di lokasi elit dan lingkungan perumahan dan kantor yang premium. Tutup lokasi lainnya yang tidak menghasilkan.

Contoh yang sukses adalah Circle-K di Bali. Anda lihat di Bali, Circle-K sukses karena dia fokus pada jualan consumer goods premium, dan di lokasi yang premium pula (dekat dengan destinasi turis-turis asing).

Jika SEVEL jatuh karena pilihan “product strategy” yang keliru, maka bagaimana dengan kisah menurunnya pamor Kaskus?

Kaskus, kita tahu pernah menjadi salah satu kanal internet paling populer di tanah air. Namun kini, perjalanannya mungkin kian termehek-mehek.
Sejumlah survei menunjukkan, trafik Kaskus makin menurun dan makin ditinggalkan para usernya.

Pada sisi lain, Forum Jual Beli (FJB) yang dulu sebenarnya merupakan salah satu ikon Kaskus kini kian tidak relevan (digilas oleh marketplace seperti OLX, Tokopedia dan Bukalapak).

FJB Kaskus mungkin terlambat melakukan inovasi, dan terkesiap saat melihat Tokopedia dan kawan-kawan melesat cepat.

Sejatinya, Kaskus dulu amat layak diharapkan bertransformasi menjadi Facebook rasa lokal atau WhatsApp rasa lokal. Dengan basis user yang masif, Kaskus dulu punya segalanya untuk menjelma menjadi Raksasa Social Media Indonesia.

Sayang beribu sayang, mereka tidak cukup inovatif, sehingga kian tenggelam dilibas FB, Line, Instagram dan WA (yang semuanya adalah produk asing).

Kaskus mungkin kembali menjadi korban Innovator’s Dilemma : terlalu mencintai produknya sendiri (forum diskusi); dan terlalu asyik dengan produk ini, sehingga jadi kurang sensitif dengan perubahan yang terjadi.

Innovator’s Dilemma acap membuat korbannya jadi rabun : alias buta dengan aneka perubahan di sekelilingnya, dan lambat bergerak saat dinamika eksternal berubah.

Nokia, Yahoo, dan Blackberry adalah deretan korban innovator’s dilemma yang dilibas oleh disruptive change yang terjadi. Kaskus adalah contoh korban terbaru dari fenomena kelam ini.

Tren penurunan trafik Kaskus ini mesti diantisipasi dengan sejumlah langkah terobosan. Sebab jika tidak, lama-lama Kaskus bisa mati seperti Friendster. Atau makin tidak relevan.

Ada dua pelajaran bisnis ringkas yang layak dikenang dari kasus jatuhnya SEVEL dan tren penurunan kinerja Kaskus.

*Pelajaran Bisnis # 1 : _High Cost Innovation will Kill You_*
Inovasi adalah KOENTJI. Namun jika proses ini dilakukan dengan memakan biaya yang terlalu tinggi (high cost dan tidak efisien), maka pelan-pelan akan membuat cash perusahaan menjadi berdarah-darah.

Apalagi jika proses inovasi yang mahal itu hanya laku dijual untuk sekelompok kecil pelanggan; dan tidak terjual secara masif ke semua segmen. Alhasil, inovasi yang mahal ini akan berakhir dalam kenestapaan yang sia-sia.

*Pelajaran Bisnis # 2 : _Too Much Love will Kill You_*
Terlalu mencintai produk unggulan yang mungkin saat itu masih berjaya, acap membuat sebuah bisnis menjadi rabun dan tidak peka akan perubahan eksternal.

Terlalu asyik dengan produk unggulannya sendiri acap membuat sebuah bisnis luput menangkap distruptive innovation yang mendadak datang menyergap. Saat sadar, biasanya sudah terlambat. Penyesalan selalu datang saat duka perih telah datang menjemput.

Sebuah bisnis mungkin harus rela melakukan creative destruction. Atau dengan sengaja membunuh produknya sendiri, sebelum para rival melibasnya tanpa kenal ampun.

Product life cycle makin pendek. Sebelum siklus penurunan datang, sebuah bisnis harus sudah siap dengan produk baru yang lebih relevan dengan semangat zaman.

DEMIKIANLAH sekelumit kisah tentang kejatuhan Sevel dan Kaskus, dua produk bisnis yang pada masanya pernah menjadi legenda.


Apakah mereka bisa kembali bangkit, dan menciptakan sejarah baru? Hanya putaran waktu yang akan menjawabnya.

Sumber Postingan : http://strategimanajemen.net/2017/06/19/pelajaran-bisnis-dari-kisah-kejatuhan-sevel-dan-kaskus/

Punya Saldo Rekening 200 Juta Atau Lebih? Wajib Lapor Ke Ditjen Pajak Lho!

Pemerintah membuat batasan jumlah saldo yang wajib dilaporkan bank ke Direktorat Jenderal Pajak ( Ditjen Pajak). Aturan itu termuat di dalam Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 70 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.



Untuk di dalam negeri, batas saldo yang wajib dilaporkan bank kepada Ditjen Pajak minimal Rp 200 juta. Batasan ini tutur Menteri KeuanganSri Mulyani, berlaku untuk semua wajib pajak pribadi.
"Namun untuk entitas (badan usaha) yang wajib dilaporkan tidak ada bottom atau batasan bawah," ujarnya saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Senin (5/6/2017).
Sri Mulyani menuturkan, PMK Nomor 70 Tahun 2017 adalah aturan teknis dari Perppu 1 Nomor 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Melalui aturan itu Ditjen Pajak memiliki kewenangan mengintip rekening nasabah. Tidak cuma data perbankan, data sektor perasuransian dan perkoperasian juga wajib dilaporkan.
Nilai pertanggungan dan saldo yang wajib dilaporkan paling sedikit Rp 200 juta. "Sementara untuk pasal modal dan perdagangan berjangka komoditi tanpa ada batasan saldo minimal," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo.
Menurut Suryo, pelaporan data saldo dari lembaga jasa keuangan termasuk bank kepada Ditjen Pajak paling lambat 30 April 2018 mendatang. Pemerintah janji akan lebih dulu melalukan sosialisasi agar ketentuan ini tidak membuat panik masyarakat.
Sementara itu untuk ketentuan pertukaran informasi keuangan antar negara, batas saldo entitas yang wajib dilaporkan minimal 250.000 dollar AS atau Rp 3,3 miliar (kurs 13.300). Besaran ini seusai dengan ketentuan internasional.


Referensi berita: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/06/05/145900326/saldo.rekening.minimal.rp.200.juta.wajib.dilaporkan.ke.ditjen.pajak
Kompas.com - 05/06/2017, 14:59 WIB

Senin, 03 April 2017

Inilah Resiko WP yang Tidak Jujur Setelah Program TA Berakhir

Dua momentum penting akan terjadi di akhir bulan maret 2017. Pertama, berakhirnya tax amnesty (pengampunan pajak). Kedua, berakhirnya masa penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT PPh OP). Keduanya berkaitan dengan kesadaran dan kepatuhan seseorang dalam membayar pajak. Sedangkan untuk SPT Tahunan PPh Badan (SPT PPh Badan) pada akhir April 2017.
Sejak diberlakukannya tax amnesty sampai saat ini, dari 29,3 juta wajib pajak hanya sekitar 690.000 wajib pajak yang ikut tax amnesty. Bahkan yang melaporkan SPT hanya 12,6 juta wajib pajak. Itu mengindikasikan kepatuhan masyarakat masih rendah dalam memenuhi kewajiban pajaknya.
Kalau begitu, pemerintah mesti mengambil langkah serius dan tegas. Tidak boleh lagi memberi ruang permakluman ketika pajak yang menjadi alat keadilan dan kesejahteraan ‘dipermainkan’ oleh sebagian masyarakat berpenghasilan yang tidak patuh pajak. Pajak secara hakiki juga sebagai wujud kemandirian suatu bangsa dan negara.
Pemilik aset/harta yang tidak melaporkannya dalam SPT maupun dalam SPH (Surat Pernyataan Harta terkait tax amnesty) harus diambil langkah tegas. Jika pemerintah sudah memberikan sinyal kuat akan adanya proses penegakan hukum pajak, mestinya bisa diantisipasi publik.
Langkah Hukum
UU Pengampunan Pajak (tax amnesty) yang akan berakhir sampai dengan tanggal 31 Maret 2017 acapkali masih ‘diremehkan’ sebagian masyarakat yang mungkin menilai pemerintah tidak akan serius dalam melakukan penegakan hukum (law enforcement). Anggapan itu yang mesti dijawab pemerintah dengan tegas.
Presiden Jokowo dengan gaya dan caranya telah mengingatkan seluruh masyarakat akan konsekwensi hukum jika tidak ikut tax amnesty padahal masih ada aset/harta yang dimiliki belum dilaporkan dalam SPT, kecuali Wajib Pajak yakin semua asetnya sudah dilaporkan dalam SPT selama ini. Ruang kesempatan meminta pengampunan pajak sudah diberikan UU, dengan konsekwensi sanksi jika tidak dimanfaatkan.
Kalau begitu, resiko hukum harus siap ditanggung jika langkah hukum tegas akan dijalankan pemerintah pasca berakhirnya tax amnesty, khususnya bagi WP yang tidak memanfaatkannya. Pasal 18 ayat (2) UU No. 11/2016 sudah menegaskannya. Sanksi administrasi dengan kenaikan 200% mesti siap ditanggung.
Ketika pemerintah membutuhkan dana setiap tahun untuk pembangunan dalam rangka meningkatkan kemakmuran rakyat, pajak menjadi cara untuk mewujudkannya. Dan, ketika ruang pengampunan pajak tidak dimanfaatkan, langkah pemeriksaan menjadi cara memberi keadilan bagi yang tidak patuh sesuai undang-undang.
Seperti dinyatakan Robert Mc.Gee “the more things that government does, the more things that people must pay for”(2004 : 3). Itu bermakna hanya pajak yang dapat memenuhi rasa keadilan yang dapat diwujudkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan tugasnya. Kalimat itu juga sejalan dengan tujuan negara yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945.
Jika ditarik dalam tataran filosofis, tax amnesty yang digulirkan dalam bentuk UU merukapan satu bentuk keinsyafan keadilan seperti dikatakan Luypen (filsuf Belanda, 1922-1980). Keadilan tentunya yang diberikan negara bagi rakyatnya, karena wujud UU dibentuk salah satunya ditujukan untuk keadilan.
Penulis meyakini keinsyafan keadilan terbaca dari norma-norma yang mewajibkan dalam UU tax amnesty. Bahkan, norma pasal 18 dari UU tax amnesty menjadi bagian penting sebagai konsekwensi hukum yang mesti diterapkan supaya keadilan pajak terwujud.
Kepiawaaian Jokowi memberi keyakinan pentingnya tax amnesty mesti diapresiasi dengan segala keberhasilannya. Termasuk jumlah dana yang terkumpul lebih dari 103 triliun sampai dengan akhir Desember 2016. Lalu, bagaimana mengantisipasi langkah hukum setelah berakhirnya tax amnesty?
Kejujuran
Setidaknya yang harus dipahami masyarakat adalah bahwa pemerintah dipastikan akan melakukan pemeriksaan terhadap WP yang ikut atau tidak ikut tax amnesty dan jika terdapat harta yang tidak dilaporkan. Konsekwensi hukum hanya pada sanksi yang berbeda (lihat pasal 18 ayat 3 dan 4).
Artinya, tax amnesty ditujukan pada makna kejujuran ikut atau tidak ikut. Penulis masih mendengar statement jika ikut tax amnesty tidak dilakukan pemeriksaan. Padahal itu tidak benar, mengapa? Bisa dibayangkan ketika Tuan Ali memiliki 10 buah mobil lalu ikut amnesty dengan melaporkan 7 mobil, apakah itu jujur?

Kalau begitu, kejujuran menjadi kata kunci dalam membenahi basis data perpajakan untuk kebaikan bersama. Kebijakan hukum tax amnesty sebenarnya sama dengan kebijakan hukum dengan nama sunset policy yang dilakukan pemerintah pada tahun 2008 lalu. Kedua-duanya ditekankan pada makna kejujuran dalam pelaporan pajak.
Hukum pajak dalam wadah berbagai macam UU termasuk UU tax amnesty mesti dijalankan dengan kejujuran. Terlebih dengan sistem self assessment, kejujuran menjadi titik berat yang tidak terpisahkan dari tiga titik berat lain yang disebutkan Soemitro, yakni, kesadaran pajak, hasrat membayar pajak, dan disiplin pajak.
Dalam bahasa lain kejujuran menjadi kunci keberhasilan pajak dan perbaikan basis data pajak. Begitupun tax amnesty menekankan pada aspek kejujuran dalam melaporkan harta yang dimiliki. Tentu sangat disayangkan jika masih ada pikiran mencoba menyembunyikan harta sementara ruang pengampunan sudah dibuka.
Era keterbukaan saat ini menjadi ruang yang tidak bisa ditutup oleh siapapun. Karenanya, kejujuran akan membuat hidup orang lebih nyaman ketimbang berfikir pada tataran pikiran lama. Era keterbukaan informasi akan dimanfaatkan pemerintah melacak harta yang disembunyikan.
Termasuk keterbukaan informasi dari seluruh dunia yang bersifat otomatis (Automatic Exchange of Information) menjadi cara mudah melacak harta wajib pajak yang disimpan di seluruh dunia. Dunia menjadi sangat sempit bagi pelaku penghindar pajak. Istilahnya, tidak ada lagi tempat bersembunyi di dunia ini, no where to hide.
Keberlakuan era keterbukaan menjadikan dunia semakin adil dan memberi kedudukan hukum sama penting bagi semua orang. Dunia perpajakan sudah menemukan tujuan yang sesungguhnya memberi keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Mereka yang mencoba menghindar pajak akan tersudutkan dan tidak ada tempat lagi untuk menyimpan hartanya.
Simpulan
Dari uraian di atas, kejujuran dan tax amnesty ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Kejujuran menghendaki orang untuk tidak berbuat curang dan berbuat menurut aturan hukum yang berlaku. Tax amnesty pun menghendaki kejujuran ketika ruang pengampunan sudah dibuka.
Dengan begitu, maka mengantisipasi hukum pasca berakhirnya tax amnesty menjadi sangat penting untuk dipahami supaya masyarakat tetap berusaha tanpa melupakan kewajiban pajak yang mesti dilakukannya.
Penulis : Dr. Wirawan B. Ilyas, Ak., SH, MH, M.Si, CPA

Sumber : https://pemeriksaanpajak.com/2017/03/27/mengantisipasi-hukum-pasca-tax-amnesty/

Ini Penerimaan Negara Selama Program Tax Amnesty



JAKARTA. Program pengampunan pajak atau amnesti pajak periode III resmi berakhir pada Jumat (31/3) kemarin, sekaligus menutup keseluruhan program yang bergulir sejak Juli 2016.
Bila menengok hasil periode II yang berakhir di 31 Desember 2016, penutupan program amnesti pajak periode III nanti dipastikan tidak terjadi lonjakan signifikan ketimbang dua periode sebelumnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Sabtu (1/4) pukul 00.09 WIB, total pelaporan harta melalui tax amnesty mencapai Rp 4.855 triliun, naik Rp 112 triliun dibandingkan hari sebelumnya.
Deklarasi harta di dalam negeri masih mendominasi dengan total Rp 3.676 triliun. Sisanya yaitu deklarasi harta di luar negeri Rp 1.031 triliun dan harta yang dibawa pulang ke Indonesia (repatriasi) Rp 147 triliun.
Adapun jumlah uang tebusan mencapai Rp 114 triliun, pembayaran tunggakan Rp 18,6 triliun, dan pembayaran bukti permulaan Rp 1,75 triliun.
Hasil ini tidak melonjak signifikan ketimbang hasil amnesti pajak periode II dengan jumlah harta yang dilaporkan mencapai Rp 4.296 triliun. Dari angka tersebut, jumlah deklarasi harta dalam negeri Rp 3.143 triliun dan deklarasi luar negeri Rp 1.013 triliun. Dana repatriasi yang masuk Rp 141 triliun dan jumlah dana tebusan sebanyak Rp 103,3 triliun.
Menteri Kordinator Perekonomian, Darmin Nasution menyatakan, berapa pun pencapaian akhir program amnesti pajak harus diapresiasi karena merupakan sesuatu yang membanggakan. Ia beralasan, negara lain tak sesukses Indonesia menjalankanprogram ini.
Darmin juga mengakui bahwa tahap III amnesti pajak ini tidak ada lonjakan tinggi ketimbang sebelumnya. "Ya cukup baik dibandingkan dengan realisasi dengan negara lain. Tetapi memang untuk tahap terakhir ini perkembangannya tidak banyak lagi dibanding sebelumnya," ujarnya, Jumat (31/3).
Darmin menyatakan, Direktorat Jendral Pajak perlu terus mengejar dana repatriasi sebesar Rp 29 triliun yang gagal kembali ke Indonesia sampai batas waktu terakhir. Menurutnya, bila sudah berkomitmen, patut ditagih. "Kalau sudah berkomitmen tertulis, tagih saja," ujarnya.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan menyatakan juga akan terus mengejar kewajiban wajib pajak yang sudah berjanji akan menarik dananya ke dalam negeri. Dia menyatakan, akan tegas menerapkan aturan agar dana repatriasi tersebut segera masuk. "Mereka harus ikuti aturan. Kalau tidak, ada sanksinya," katanya.
Sri mengatakan, sanksi yang dijatuhkan akan dilihat berdasarkan jenis kesalahan serta ada atau tidaknya niat buruk dan unsur kesengajaan.

Sumber : kontan.co.id